Akhirnya, aku mendapatkan kesempatan untuk pergi ke kantor Samsat Pusat-Utara di Jl. Gunung Sahari, dekat Mangga Dua, untuk memperpanjang SNTK motorku yang sudah terlambat 2 minggu. Tempat tinggal yang semakin jauh ke selatan dan ada saja kegiatan yang harus diselesaikan hari demi hari, membuatku benar-benar harus mencari waktu yang tepat untuk pergi ke Samsat. Dan jadilah hari Senin ini aku berkesempatan untuk mengarahkan kendaraanku ke sana.
Setibanya di Kantor Samsat Pusat-Utara, sungguh aku terkesan dengan sebuah spanduk besar bergambar kartun laki-laki yang berjalan dengan gagah, dengan tulisan di belakangnya, “Percaya Diri, Hindari Calo”. Berarti, instansi kepolisian sepertinya sangat bersungguh-sungguh ingin memberikan pelayanan yang bersih dan bebas dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) nih.. ^^
Sudah beberapa kali aku mengurus perpanjangan STNK di tempat ini, baik untuk mobil maupun motor. Dan sungguh aku bersyukur karena semua proses itu berlangsung dengan lancar tanpa ada halangan apa pun. Hanya saja, pengalaman membuat aku memilih untuk menyiapkan banyak uang receh agar tidak perlu berpanjang lebar berurusan dengan petugas hanya karena uang kembaliannya kurang karena dianggap recehan.
“Mas Siapanya?”
Dalam mengurus perpanjangan STNK kali ini ada yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Karena motorku sudah memasuki tahun kelima pemakaian, artinya harus ada cek fisik sebelum melakukan perpanjangan STNK. Dan kebetulan STNK motorku sempat hilang dan kopi STNK-nya masih belum kuambil sejak perpanjangan yang terakhir. Karena saat terakhir aku ke Samsat, aku belum bisa mengambil kopi STNK-ku karena kendala teknis di kantor Samsat, dan baru sekarang-sekarang inilah aku ada urusan untuk ke Samsat lagi.
Jadilah aku ke lantai dua gedung Samsat dan bertemu salah satu petugas di loket pengambilan STNK. Setelah berkas-berkasku selesai, aku ditanya dengan sopan oleh petugas yang menyerahkan berkas STNK, “Mas siapanya?” Demikian cara petugas tersebut bertanya seputar hubunganku dengan pemilik STNK yang notabene adalah istriku. “Saya suaminya.”
Aku pikir itu hanya bagian dari basa-basi ramah-tamah petugas saja. Namun aku agak terhenyak ketika ia mengucapkan kata, “Lima ribu.”
Sungguh bukan persoalan angkanya. Bagi sebagian orang, angka 5.000 mungkin kecil dan tak seberapa. Namun bagiku, nilai itu penting bila ternyata merupakan pungutan tidak resmi atau pungli. Karena apa? Karena hampir di seluruh sudut ruangan terdapat spanduk, standing banner dan poster bertemakan anti-korupsi.
“Ini resmi, pak?” tanyaku, yang sepertinya tidak terlalu digubris karena saat itu si petugas sedang berbicara dengan petugas lain.
“Resmi apa?” tanya si petugas kepadaku setelah obrolannya dengan petugas lain selesai.
“Biaya resmi, bukan pungli atau suap.” Ucapanku itu mengalir begitu saja karena terdorong rasa gemas dan prihatin atas indikasi korupsi yang masih terjadi itu. Walau jumlahnya kecil, namun bisa saja terjadi pada setiap pemohon yang jumlahnya bisa puluhan bahkan ratusan orang dalam sehari.
Mendengar pernyataanku, si petugas langsung mengembalikan uang 5.000 yang sudah kukeluarkan beserta seluruh berkas yang kuserahkan, dengan sikap yang tidak lagi ramah seperti sebelumnya. Well, aku tidak ambil pusing. Kulanjutkan saja proses perpanjangan STNK yang sedang kujalani.
“Diem-diem Aja Ya Pak”
Sampailah aku ke tempat cek fisik kendaraan. Tak ada kendala dalam pengambilan formulir, namun terdapat hal yang tak enak didengar saat seorang petugas mengarsir kertas sticker untuk mengenali nomor rangka dan nomor mesin motorku. “Kalau mau ngasih, diem-diem aja ya pak.”
Sambil menahan hati, aku mengatakan kepada si petugas, “Mohon maaf ya pak, karena saya tidak ngasih…” Dan si petugas tak menjawab apa-apa selain mempersilakan aku membawa motorku ke tempat parkir karena sudah selesai diperiksa.
Waktu istirahat siang tiba, yaitu dari jam 12 sampai 1 siang. Sambil menunggu jam pelayanan dibuka kembali, aku merenungi kedua peristiwa yang kualami barusan. Apa yang sebaiknya kulakukan? Apakah kubiarkan saja, atau harus kuadukan ke nomor telepon yang terpampang di berbagai sudut kantor Samsat bila mengalami pungli? Pungli tersebut memang tidak sampai terjadi karena aku tegas menolak permintaan petugas, namun upaya itu telah terjadi. Lalu apakah aku harus mencantumkan nama petugas sebagaimana yang disarankan oleh tulisan di dalam salah satu standing banner?
Akhirnya aku memutuskan untuk menuliskan apa yang kualami melalui SMS, lengkap dengan nama petugas dan lokasi kejadian. Setelah selesai, aku merasa lega, karena aku sangat mengharapkan pelayanan teman-teman di kepolisian semakin profesional dan berintegritas, tanpa ada indikasi pungli atau suap lagi. Dengan laporanku ini, semoga pihak kepolisian dapat semakin memperbaiki diri dan pelayanannya demi keadaan bangsa Indonesia yang lebih baik.
Dan sampai urusanku selesai, aku tak mengalami indikasi pungli apa pun lagi, mulai dari pelunasan perpanjangan STNK sampai pengambilan nomor plat kendaraan yang baru. Semoga suap, pungli dan korupsi semakin sirna di bumi Indonesia demi Berkah dan Rahmat Tuhan yang niscaya akan turun seiring dengan kebaikan dan kesucian bangsa ini sendiri. Amin.
pengalaman dan cara anda sama dengan saya.....di lokasi samsat yang sama...teruskan untuk berkata tidak pada pungli !!!
ReplyDelete