DI ANTARA KITA
Tulisan ini adalah refleksi dan catatan pribadi saya dalam menjadikan game digital sebagai bagian dari hiburan dan cara keluarga kami menanamkan nilai-nilai moral kepada anak-anak.
Game adalah alat belajar yang menyenangkan, namun pada saat yang bersamaan juga bisa menjadi peruntuh fondasi moral yang sedang kita bangun pada diri anak-anak kita.
Karena tidak bertujuan agar menjadi viral, sengaja judul dan isi tulisan ini tidak mengutip langsung judul dan diksi-diksi yang terdapat pada game yang sepertinya sedang marak diunduh dan dimainkan oleh para gamers di Indonesia.
Termasuk Oji.
Jadi ceritanya kami membatasi jumlah game yang boleh diunduh dalam perangkat tablet yang dipegang oleh Yanthi. Kebetulan anak-anak kami belum memiliki gawainya sendiri, jadi kami sebagai orangtua yang memutuskan kapan gawai bisa dipakai, untuk apa dan bagaimana syarat-syaratnya.
Kebetulan juga Oji sudah mulai merasa bosan dengan game yang diunduhnya. Sebagai tambahan info, Oji dan Yanthi hanya boleh mengunduh 1-2 game per orang untuk dipasang di tabletnya.
Jadilah Oji mencopot game sebelumnya dan memasang game yang katanya sedang viral ini. Saya suka bermain game, namun tidak terlalu bersemangat untuk mengikuti perkembangan game baru. Pernah membaca status beberapa teman yang anaknya juga memainkan game ini, namun tidak tertarik untuk memperkenalkannya ke Oji atau Yanthi karena mereka masih asyik dengan game yang ada seperti Minecraft dan Talking Tom.
Ketika game terpasang dan terlihat menantang, Oji mengajak saya untuk ikut menjajalnya. Mencoba versi freeplay dan online, saya mulai bisa melihat keseruan dan keasyikannya.
Dikemas dalam gambar 2D membuat game ini terasa ringan, namun tidak mengurangi ketegangan yang dirasakan khususnya saat bermain online.
Mengapa menegangkan? Karena salah satu tujuan game itu adalah untuk menemukan siapa yang menjadi 'orang jahat' di antara kita.
Seiring berjalannya waktu, saya mendapati hal-hal yang kurang nyaman di hati saat memainkannya. Sekali lagi ini adalah preferensi saya sebagai pemain game sekaligus kepala keluarga yang turut mengarahkan nilai-nilai apa yang perlu dimiliki oleh anak-anak saya.
Adanya kata 'bunuh', 'mayat' dan cipratan darah yang tersembur dari korban membuat saya merasa tidak nyaman memainkannya. Dan seiring berjalannya waktu, saya semakin melihat ada sebuah poin yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keluarga kami di dalam permainan itu.
OK-lah saat sistem menyatakan kita sebagai bagian dari tim yang 'bukan orang jahat', maka tugas kita adalah menyelesaikan tugas sambil berharap dapat panjang umur sepanjang permainan karena tidak bertemu 'orang jahat' atau memergoki 'orang jahat' melakukan kejahatan.
Permainan berakhir saat 'orang jahat' ketahuan dan dieliminasi, atau ketika 'orang jahat' berhasil mengalahkan semua tim yang berjumlah 5-10 orang itu.
Sebagai game yang menggunakan 'ngobrol' atau 'chatting' sebagai sarana untuk bertahan hidup, di sinilah saya mendapati ada ketidaksesuaian nilai di dalamnya.
Tak ada sensor ketat terhadap kata-kata berasosiasi kasar, buruk, sadis, jorok yang bisa diungkapkan oleh peserta daring lainnya, membuat Oji dan Yanthi terpapar kata-kata tersebut lebih cepat dari yang saya bayangkan. Kalau diterima dari pergaulan nyata, itulah realitas dunia dengan keanekaragaman manusia dan latar belakangnya. Namun kalau diterima dari dunia maya, saya merasa kita punya pilihan untuk membatasi paparannya.
Itu satu hal. Namun hal yang lain yang menurut saya lebih esensi adalah pola permainan saat seseorang mendapat kesempatan untuk menjadi 'orang jahat' yang memiliki tujuan 'menjahati' semua anggota tim termasuk mempertahankan diri agar tidak sampai ketahuan sebagai 'orang jahat'. Karena ditetapkan sistem pemungutan suara yang membuat seseorang dengan suara terbanyak akan tereliminasi, seringkali yang terjadi adalah bukan 'orang jahat' yang tereliminasi.
Mengapa itu bisa terjadi? Karena dengan platform ngobrol, 'orang jahat' sangat bisa memfitnah tim lain sebagai pelakunya dan menghasut tim lainnya untuk mendukung fitnahnya tersebut.
Bagi saya, ini adalah nilai yang tidak ditawar di dalam keluarga. Jangankan fitnah atau hasut yang bisa jadi lebih kejam dari pembunuhan, berbohong menjadi sikap dan sifat yang menjadi pembahasan untuk tidak boleh dilakukan sama sekali.
Karena apa? Bohong adalah akar dari semua kejahatan. Satu kebohongan akan menjadi kebohongan-kebohongan lainnya. Apalagi saat pernah berhasil selamat dan mendapat kepuasan karena berbohong, maka sikap itu bisa menjadi nilai yang dianggap boleh dan benar dalam konteks mempertahankan dan menjalani hidup.
'Kebahagiaan karena berhasil memfitnah, menghasut dan menjahati orang lain' inilah yang ingin saya cukupkan dari game tersebut. Dan apa yang saya tuliskan ini sudah disampaikan kepada Oji dan Yanthi.
Apakah mereka bisa menerima? Pesan sudah disampaikan, dan game sudah dihapus. Paparan sudah dibatasi, berganti dengan paparan lainnya. Semoga Oji dan Yanthi bisa memahaminya 🙏
Itu sebabnya saya mengajak Oji untuk membuat sesi 'Ngobrolin Minecraft' via Zoom, karena game benar-benar bisa menjadi alat untuk membangun bonding, sarana untuk menyamakan bahasa yang bertujuan menghadirkan rasa nyaman dan rasa percaya bahwa orangtua menyayangi dan memahami mereka dan ingin ikut berbahagia bersama mereka. Barulah setelah nyaman dan percaya, kita bisa memasukkan nilai-nilai moral dan keluarga yang diharapkan.
Dulu, saya terbalik. Saya maunya memasukkan nilai terus dan maunya anak mengerti dan mau melaksanakan, sementara mereka belum merasa nyaman dengan cara komunikasi saya, apalagi mau percaya 🤦♂️😆
Semoga dengan sesi Ngobrolin Minecraft dapat membantu semakin banyak anak bisa melihat bahwa, "Oh, aku bisa ya mengobrolkan game kesukaanku ke orangtua." Atau sebaliknya, orangtua bisa merasakan bahwa, "Oh, ternyata game bisa jadi sarana ngobrol dan belajar juga."
Mau ikutan Ngobrolin Minecraft via Zoom setiap hari Minggu pukul 11.00-11.45 WIB? Silakan isi form di sini ya: bit.ly/NgobrolinMinecraft. Link Zoom akan dibagikan 15 menit sebelum acara dimulai.
Sekian ulasan mengenai game yang terdengar sedang marak akhir-akhir ini. Karena sudah mencoba, melihat dan merasakan langsung, maka bisa dituliskan.
Semoga bermanfaat 😊🙏🌱
Cipinang Muara, 13 Oktober 2020
#catatanharianAndito
#gamebasedlearning
#homeschooling
#keluarganandito
1 comments:
Post a Comment