VALUE

Setiap keluarga memiliki nilai-nilai yang dianggap penting untuk ditanamkan kepada anak-anaknya, baik disampaikan secara verbal maupun melalui teladan dalam keseharian. 

Salah satu value atau nilai keluarga yang kami anggap penting di keluarga kami adalah KEJUJURAN. Dari semua nilai-nilai luhur yang bisa kita ambil dan menjadi bagian dari keseharian, ternyata kejujuran menempati nilai tertinggi dalam keluarga kami. 

Karena menurut kami, kejujuran akan membawa kami dan anak-anak kami hidup dengan lebih berbahagia dan tenang, tidak diberati dengan rasa bersalah karena telah melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh hati nurani. 

Karena, menurut kami, kepandaian atau ilmu bisa dikejar dengan menemukan minat dan kerja keras, dan bisa diakselerasi bila bertemu dengan mentor dan komunitas yang tepat. Namun kejujuran adalah sebuah fondasi kepribadian yang perlu dibangun selapis demi selapis melalui teladan, komunikasi dan pengalaman dalam keseharian.

Singkat cerita, saat ini Oji sedang mengikuti rangkaian ujian untuk mendapatkan ijazah Paket A melalui sebuah PKBM, yang mana kategori soalnya ada pilihan ganda dan esai. 

Untuk pilihan ganda, tentu petunjuk mengerjakannya mudah saja bila ada hal-hal yang tidak diketahui atau dipahami jawabannya: kerjakan yang diketahui terlebih dahulu, lalu sisanya pilih jawaban yang paling masuk akal.

Dan tips ini tidak berlaku dalam mengerjakan soal esai yang mana jawabannya tertulis. Bila tidak tahu, bagaimana menjawabnya? 

Kebetulan mata pelajaran kali ini memang membutuhkan pendalaman seputar wawasan yang cenderung perlu menghafal apabila tidak terlalu berminat mempelajarinya. Dan ndilalah, apa yang kami coba pelajari dan pahami bersama sebelum ujian berlangsung tidak keluar di bagian esai. 

Walau ujian dilakukan secara daring, dan sangat bisa saya memberitahukan apa jawaban untuk mengisi bagian esainya, namun bukan itu nilai yang ingin saya tanamkan kepada Oji melalui rangkaian peristiwa mengikuti ujian kesetaraan yang kini disebut USPK (Ujian Sekolah Pendidikan Kesetaraan) ini. 

Saya berada di sebelahnya, dan Oji menyampaikan keluhannya karena tidak bisa mengingat jawabannya sama sekali. Dan saya sampaikan bahwa tuliskan saja bahwa Oji memang tidak ingat. 

Memang tidak nyaman saat melihat isi esai yang perlu difoto dan dikirimkan kepada gurunya dengan tulisan 'tidak ingat' semua. Namun memang itulah kenyataannya. Kalau bisa dikarang jawabannya, mungkin akan saya arahkan untuk mengarang. 

Namun nama tokoh yang berjasa di masa lampau, lokasi tempat-tempat bersejarah atau kapan sebuah peristiwa terjadi niscaya bukanlah sesuatu yang mudah untuk dikarang kalau tidak terbiasa mendengarnya.  

Saya mengakui ada perasaan miris saat mengirimkan jawaban tersebut, namun saya merasa akan jauh lebih menyesal kalau apa yang kami kirimkan adalah buah dari ketidakjujuran. 

Bila melihat beberapa berita tentang kasus korupsi yang terjadi di negeriku Indonesia tercinta ini, yang tertangkap tangan melakukan korupsi dan terekspos bukanlah orang-orang yang tidak pintar secara akademis karena mereka memiliki gelar-gelar pendidikan pada namanya, bahkan sedang mendapat amanat sebagai pejabat bahkan menteri di pemerintahan. 

Dan mengapa mereka mau melakukan korupsi? Apa pun alasannya, niscaya semua bermuara pada kurangnya kejujuran. Jujur kepada lingkungannya, jujur kepada diri sendiri dan jujur kepada Sang Pencipta, sepertinya semua itu diabaikan demi keuntungan materi yang entah akan menghadirkan kebahagiaan seperti apa. 

Maka tak apalah bila Oji akan mendapatkan nilai seadanya (bahkan jelek) dalam usaha kami mendapatkan ijazah setara SD sebagai sebuah syarat bila siapa tahu minat dan bakat Oji membutuhkannya untuk berkarya kelak. 

Dan melalui peristiwa ini, semoga Oji bisa merekam sebuah jejak bahwa ayahnya menghendaki dia menjadi bagian dari manusia-manusia yang menempatkan kejujuran sebagai nilai atau value utama di dalam kehidupannya.  

Karena pada akhirnya kita hidup bersama nilai-nilai yang kita yakini benar, bukan atas apa yang dinilaikan orang lain pada diri kita 🙏

Jadi teringat salah satu kisah favorit saya di rangkaian cerita Chicken Soup for the Soul. 

Suatu hari, ada seorang ayah membawa anaknya yang berusia 6 tahun ke taman bermain. 

Di depan loket tertulis: "6 tahun ke atas wajib beli tiket". Dan sang ayah membeli dua buah tiket untuknya dan anaknya. 

Penjual tiket bertanya, "Bapak mengapa tidak membeli satu tiket saja? Toh saya tidak tahu kalau anak bapak berusia 6 tahun atau tidak." 

Sang ayah, sambil menengok kepada anaknya yang terlihat menyimak pembicaraan mereka, berkata: "Ya, Anda mungkin tidak tahu, tapi anak saya tahu." 

Cipinang Muara, 27 April 2021

#catatanharianAndito
#selfreminder
#homeschooling
#value

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Back
to top