Maunya menyampaikan protes. Namun melihat peraturan bahwa yang protes harus memberikan deposit sebesar 8-10 juta kepada Akuatik Indonesia, dan baru dikembalikan bila protes diterima dan akan diambil pihak Akuatik bila protes ditolak, membuat saya pribadi pun menjadi bagian dari para suporter renang yang memilih untuk mundur teratur dan menerima hasil dari lomba renang yang disampaikan oleh panitia.
Apalagi setelah mendapat penjelasan dari salah satu punggawa di Akuatik DKI Jakarta, bahwa materi video yang dibawa oleh suporter dari tribun tak akan diterima sebagai bukti pendukung protes yang diajukan. Maka bila tidak ada alat perekam yang disediakan oleh panitia, tidak ada bukti yang bisa diajukan selain menerima apa pun hasil yang disahkan oleh panitia.
Tak menjadi juara pertama atau ada di urutan terbawah dalam sebuah seri renang hanya karena perbedaan waktu 0.0x detik adalah sebuah hal yang biasa saja terjadi di dalam dunia renang, khususnya nomor cepat atau sprint. Di dalam dunia renang dengan apresiasi, bisa berarti atlet akan kehilangan potensi bonus puluhan juta hingga miliaran rupiah.
Maka layar yang terpampang di Stadion Akuatik GBK niscaya selalu menjadi tujuan ratusan bahkan ribuan pasang mata yang hadir untuk melihat siapa atlet tercepat dalam sebuah seri. Semakin ketat persaingan di dalam air, akan semakin riuh juga para suporter dalam mendukung jagoannya. Dan biasanya sorakan suporter tersebut akan berujung dengan teriakan gembira atau erangan kekecewaan ketika melihat hasil yang terpampang di layar.
Masih jelas teringat di dalam benak saat Oji, saat itu 13 tahun, mengikuti Kejurnas Renang pertamanya mewakili DKI Jakarta. Salah satu nomor yang diikuti adalah 50 meter gaya punggung. Setelah lolos babak penyisihan, Oji masuk final dan berlaga bersama 7 atlet lainnya dari berbagai provinsi di Indonesia.
Dan suasana yang menggemaskan itu pun terjadi. Ketika mencapai finish, layar bermasalah. Hasil tak langsung muncul sehingga tak dapat segera diputuskan siapa yang berhak menyandang gelar nomor satu dalam seri tersebut.
Tak lama kemudian, layar pun kembali hidup. Dan terlihat bagaimana Oji berada di urutan dua, hanya selisih 0.02 detik dari urutan satu. Sempat ada ketidakterimaan yang disampaikan oleh pelatih Oji yang memiliki keyakinan kalau Oji sampai lebih dulu, namun begitulah, tak ada yang bisa dilakukan. Dan pada saat itu, sebagai orangtua, saya menyampaikan kepada pelatihnya bahwa kalau saya pribadi menerima hasil tersebut dan menganggap bahwa persahabatan antara dua atlet muda Indonesia itulah yang perlu dijaga daripada memperpanjang masalah hasil yang diperoleh.
Setelah peristiwa itu, sesungguhnya hampir selalu terjadi rasa tegang yang berujung pasrah atau lega saat melihat hasil yang muncul di layar. Apa pun hasilnya, kami menerima sebagai pencapaian terbaik Oji dan Yanthi di dalam setiap momen pertandingannya.
Namun tidak untuk kali ini.
Untuk kali ini, saya tidak bisa langsung menerima.
Namun hanya untuk 1-2 menit saja 😇
1-2 menit itu adalah momen saya melihat berkali-kali rekaman ulang video yang saya ambil dari ponsel dalam momen final 50 meter gaya bebas KU1 dimana Oji sudah sampai di finish, sementara 5 perenang lainnya masih menunjukkan riak air pada lintasannya masing-masing, pertanda mereka masih bergerak dan belum sampai menyentuh finish.
Artinya, secara kasat mata, Oji berpeluang berada di peringkat 2 atau 3 karena mencapai finish bersamaan dengan perenang di lintasan 6, sementara Oji di lintasan 5.
Dan bagaimana hasil yang tertampilkan di layar? Oji ada di urutan 7 dengan hasil pencapaian yang jauh lebih rendah dari pencapaiannya saat babak penyisihan.
Hasil di final lebih rendah dari babak penyisihan sesungguhnya hal yang lumrah terjadi. Kelelahan menunggu partai final yang diadakan pada hari yang sama dengan penyisihan niscaya akan memberi tantangan tersendiri bagi atlet untuk dapat mengelola energi fisik dan mentalnya.
Maka bila Oji ternyata menunjukkan capaian hasil babak final yang lebih rendah dari babak penyisihan, sesungguhnya biasa saja. Namun untuk cerita lomba kali ini, memang tidak mudah diterima (walau pada akhirnya diterima juga… 😁)
Dan dari seorang yang merupakan pihak penyelenggara lomba renang tersebut, saya mendapat info bahwa memang ada beberapa laporan atas dinding sentuh di garis finish lintasan 5 dimana hasil yang muncul di layar bisa berbeda jauh dengan hasil yang diukur secara manual.
Maka bisa disimpulkan bahwa Oji telah menjadi salah satu ‘korban’ dari menurunnya performa perangkat dari salah satu stadion renang terbaik di Indonesia.
Kepada siapakah masyarakat bisa menyampaikan hal ini, bahwa perlu ada perhatian terhadap peralatan pencatat waktu renang di Stadion Akuatik ini? Apakah pengurus Akuatik DKI Jakarta, Pemprov DKI Jakarta, Kemenpora atau petinggi Danantara yang kabarnya kini mengelola kawasan ini?
Karena sebagaimana yang tertulis sebelumnya, bahwa selisih 0.0x detik di dunia renang bisa berarti akan mendapat atau kehilangan peringkat, yang itu bisa berarti pula mendapat atau kehilangan jutaan, puluhan juta bahkan miliaran rupiah. Dalam tahapan yang sedang dijalani Oji saat ini, bisa berpengaruh kepada catatan waktu dan prestasi yang mungkin saja menjadi pertimbangan dalam seleksi-seleksi atlet junior tingkat daerah bahkan nasional.
Apabila Stadion Akuatik bisa menambah investasi untuk alat perekam yang dipasang secara permanen dan digunakan dalam setiap event di Stadion Akuatik GBK, niscaya dapat meningkatkan akuntabilitas hasil saat terjadi kontroversi yang terlihat terang-benderang sebagaimana yang dialami Oji dalam event kali ini.
Semoga pengelola Stadion Akuatik GBK mau membenahi dan menjaga performa peralatan pendukung yang terpasang di sana, termasuk kepekaan dan keakuratan dinding-dinding sentuh finishnya.
Demikian sedikit catatan saya sebagai orangtua pendamping anak yang sedang menekuni dunia renang di Indonesia.
Rawamangun, 4 Juli 2025
Video pendukung cerita:
0 comments:
Post a Comment